Hukum Perjanjian Baku

 

 



·      Standar kontrak atau Perjanjian Baku

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang terkandung dalam persetujuan itu. Standar kontrak atau perjanjian baku adalah penggunaan klausula eksonerasi dalam transaksi konsumen. Standar kontrak pada dasarnya lahir dari kebutuhan masyarakat yang  bertujuan untuk memberikan kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak dalam melakukan transaksi

 

·      Macam-macam perjanjian (menurut Burgerlijke Wetbook (BW)

 

1.       Perjanjian timbal balik (bilateral contract)

 

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian ini sering kita alami dalam kehidupan bermasyarakat, seperti perjanjian yang disebutkan oleh Subekti di atas yaitu perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, dan sebagainya

 

2.      Perjanjian sepihak

 

Perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, missal perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

 

3.      Perjanjian cuma-cuma

 

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima manfaat bagi dirinya sendiri misal perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.

 

 

4.      Perjanjian Atas Beban

 

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yng satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain.

 

5.      Perjanjian Bernama

 

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.

 

6.      Perjanjian Tidak Bernama

 

Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

 

7.      Perjanjian Obligatoir

 

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdat perjanjian jual beli saja tidak mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).

 

8.     Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)

 

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan pula perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontract).

 

 

9.      Perjanjian Konsensual

 

Adalah persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesepakatan. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat ( vide Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek).

 

10.  Perjanjian Riil

 

Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (vide Pasal 1694 Burgerlijk Wetboek), pinjam pakai (vide Pasal 1740 Burgerlijk Wetboek).

 

11.   Perjanjian Liberatoir

 

Ialah Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.

 

12.  Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)

 

Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian mana yang berlaku diantara mereka. 13)

 

 

13.  Perjanjian Untung-untungan

 

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetbook.

 

14.  Perjanjian Publik

 

Yaitu keseluruhan atau sebagian perjanjian yang dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, (Subordinated) dan tidak berada dalam kedudukan yang sama (Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

 

15.  Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, yaitu paham pertama mengatakan bahwa perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi), dan paham kedua mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

 

 

·       Syarat sah perjanjian

 

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 – pasal 1337 KUHPer, yaitu:

 

 

1.      Kesepakatan para pihak. Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan pasal 1321 KUHPer, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

 

2.      Kecakapan para pihak. Menurut pasal 1329 KUHPer, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.

3.      Mengenai suatu hal tertentu. Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut pasal 1333 KUHPer, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.

4.      Sebab yang halal. Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.

 

 

·      Saat Lahirnya Perjanjian

 

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yaitu:

1.       Teori Pernyataan (Uitings Theorie)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

2.      Teori Pengiriman (Verzending Theori)

Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.

3.      Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Menurut teori ini saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.

4.      Teori penerimaan (Ontvangtheorie)

Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian.

 

·      Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

 

1)     Penyebab Pembatalan Perjanjian:

A)   Pekerja meninggal dunia

         B)   Jangka waktu perjanjian kerja berakhir

         C)   Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian

         D)   Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian

 

 

2)    Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.





Daftar Pustaka

 

Shanti Rachmadsyah, S.H., 2010. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c3d1e98bb1bc/hukum-perjanjian/ (Diakses 3 April 2021)


https://kbbi.web.id/perjanjian (Diakses 3 April 2021)

 

Poernomo, 2019 https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/566/pdf (Diakses 3 April 2021)


Sinta, 2011 https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/0916051182-3-BAB%20II.%20dewi.pdf (Diakses 3 April 2021)

Kinan Tiarin : https://kinantiarin.wordpress.com/hukum-perjanjian/ (Diakses 3 April 2021)

Komentar

Postingan Populer